02 May 2009

Gaya Bahasa Politik yang Berkonotasi Perilaku Menyimpang

Kalau Ulil Abshar Abdalla dalam kolom bahasa merasa terganggu oleh istilah asing dalam musim pemilu ini (Kompas 1 Mei 2009), saya justru merasa risih mendengar dan membaca istilah yang digunakan oleh para politisi, pengamat politik, ataupun judul berita beserta isinya ketika menggambarkan dinamika hubungan antar parpol dalam menjalin koalisi di pemerintahan maupun di parlemen. Gaya bahasa yang dipakai bertabur dengan metafora yang sekilas berasosiasi dengan orientasi seksual suka sama lawan sejenis.

Simak judul berita sebuah portal online, “PD Jangan Urusi SBY-JK Kawin!”(inilah.com 22/04/2009). Dan baru baru ini portal yang sama menulis judul yang cukup nakal sekaligus mengganggu: “Wiranto Jelaskan Alasan Nikahi JK”. Seakan tak mau ketinggalan, Detik sebagai portal terkemuka, juga menggunakan kosa kata yang hampir sama, bahkan dengan ilustrasi gambar Sby dan JK dengan muka keduanya hampir bertemu. Bagaimana dengan para pelakunya sendiri? Ternyata setali tiga uang. Dalam acara talk show, baik itu politisi, pengamat, maupun pembawa acara tak luput menggunakan kosa kata sejenis seperti: siap dipinang, kawin, sudah talak tiga, sudah pisah ranjang, seperti orang berpacaran, menjomblo, dll. Yang cukup menarik adalah statemen dari Ganjar Pranowo kader PDIP dalam dialog di stasiun TV One, ketika menjelaskan progres koalisi enam partai dengan “..... semuanya sudah sepakat dengan komitmen yang disusun, tinggal menunggu ungkapan “I love you saja”....

Bagaimana dengan koran yang cukup selektif dalam pemilihan kata seperti Kompas? Ternyata koran ini tak luput juga dari ‘kebiasaan” tersebut walaupun penggunaan kata-katanya memakai tanda petik. Terbukti dalam beberapa judul beritanya menggunakan kata kata ‘cerai’.‘pisah ranjang’, dan ‘gadis yang siap dilamar’. Tempo Interaktif yang saya anggap mewakili portal yang cukup ’intelek’ ternyata jauh sebelumnya saat pilpres 2004, telah menggunakan kosa kata sejenis dengan judul berita ”Pengurus Golkar Meminang Hasyim Muzadi Sebagai Calon Presiden”.

Ditengah kerisihan terhadap realitas di atas, saya teringat pemilihan kata ”peluru perak” yang dipilih Condoleezza Rice ketika menjelaskan situasi betapa mustahilnya mencegah serangan 11 September 2001. ”There was no silver bullet that could have prevented the 11 September attacks.” Sungguh pilihan kata yang smart dan sekaligus menjadi rujukan yang pantas untuk bahan kutipan berita. Dengan sedikit pikiran nakal saya berandai-andai gaya bahasa yang dipakai oleh politisi kita untuk mengekspresikan situasi di atas dengan konteks kekinian di Indonesia. ”Tak ada obat kuat mujarab yang dapat mencegah perceraian antara PD dan Golkar.”

Sebagai warga yang rindu akan atmosfir jauh dari suasana ”hanya kawin saja yang dipikirkan” saya menantikan lontaran-lontaran analogi atau ungkapan cerdas dari pelaku politik di Indonesia, sehingga gaungnya bisa teredengar beberapa tahun kedepan. Ataupun kalau tidak mampu, saya lebih sreg dengan istilah ”pecah kongsi” dari pada kata ”cerai’ atau ”pisah ranjang”. Dan di luar konteks ini, paling tidak sudah ada yang memulainya. Misalnya istilah ’tebar pesona’. Hanya tinggal meng-upgrade sedikit-sedikit biar kelihatan berbobot dan cerdas.

2 comments:

wasis said...

Mantap kali analisanya

Unknown said...

Tks om Wasis atas kunjungannya.
Salam