27 July 2007

:: Tentang Tetralogi Andrea Hirata

Kelar sudah baca novel Edensor karya Andrea Hirata. Menurutku buku ketiga dari tetralogi-nya Andrea Hirata bagus, namun lebih dasyat buku keduanya, Sang Pemimpi. Dalam “Sang pemimpi, aku dibuat hanyut dalam alur ceritanya. Mataku berkaca kaca membaca kisah mengharukan, lalu kemudian tertawa terpingkal-pingkal membaca humor cerdas dan tak terduga. Dalam Edensor, yang dapat membuatku tersenyum lebar hanya bagian ketika Arai mengucapkan “Aaammmiiinnn...mmmiiinnn” secara tidak tuma’nina ketika ia menjadi ma’mum shalat Jum’at yang diimami Oruzgan disebuah masjid di Austria (mozaik 38: 16 tahun Tuhan Menunggu, hal 243). Selebihnya, metafora yang ditampilkan sudah bisa ditebak kemana arahnya.

Perkenalanku dengan karya Andrea Hirata berawal dari door prize yang kudapat ketika acara liburan bareng teman sekantor dan keluarga di Malino. Ternyata isinya sebuah novel berjudul Sang Pemimpi. Membaca novel tersebut beberapa halaman saja, telah membuat aku terpikat. Dan segera menuntaskan membacanya. Kemudian aku cari buku pertamanya : Laskar Pelangi. Lalu buku ketiganya.... Edensor.

Ada bagian yang aku suka di buku ini :

What we do in life, echoes in eternity..!! Setiap peristiwan di jagad raya ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan mozaik-mozaik itu akan bersatu membentuk sosok dan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kau kerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian.

Gaya bercerita Andrea sebagai orang yang besar dalam kultur masyarakat yang suka bercerita, tak pelak lagi, pasti akan memesona pembacanya. Ia pandai memilih kata dan mengolahnya, sehingga pembaca terpaku dan tak beranjak di depan novel sampai cerita selesai. Namun bagiku yang juga tumbuh dan besar dalam kultur melayu Pontianak, ada sesuatu yang yang tak asing baik dari gaya berceritanya, atau pun sosok tokoh yang ditampilkan seperti bang Zaitun, Minar, serta Mak Birah. Perumpamaan yang digunakan, hiperbolis dalam mendiskripsi kejadian yang sebenarnya biasa saja sehingga menarik dan memberikan inspirasi, mengingatkanku pada sosok bang Yadi ( dimana ia sekarang ? ) yang dulu pernah kukenal.

..... Waktu itu dik, abang ikut kapal..... Abang mencoba memancing pakai tali plastik jemuran dan umpannya dari tali rapia. Abang ikat tali pancing tersebut pada buritan kapal. Lalu seekor hiu yang sangat besar memakan umpan tersebut. Besar sekali ikan itu. Saking besarnya hiu tersebut sampai-sampai kapal tidak bisa bergerak maju. Jadinya abang dimarahi oleh nahkoda.....”. He..he..he penuh hiperbolisme nggak gaya bercerita bang Yadi?

Berikut pemikiranku mengenai tetralogi tersebut :

Banyaknya pertemuan kebetulan dengan seseorang dan tempat yang ada hubungan historis kita dimasa lalu. Itu bisa saja terjadi. Bahkan sering terjadi malah, hanya saja kita lupa atau tidak mengetahuinya. Karena ada berjuta-juta mozaik hinggap dan pergi dalam kehidupan kita. Bahwa fragmen kecil- Andrea menyebutnya mozaik- kita dimasa lalu, linking dengan kejadian selanjutnya dimasa datang, probabilitasnya sangat tinggi. Orang asing yang duduk disamping kita di bis, sangat mungkin pernah muncul dalam segmen kita dimasa lampau. Dalam konteks itulah mungkin Andrea menghubung-hubungkan pertemuanya dengan Oruzgan, Andrea Galliano, Daria Werbowy, orang Samia bahkan tempat yang bernama Edensor, kemungkinan besar pernah bersinggungan dengan kehidupannya dimasa lampau. Jadi tinggal memberinya justifikasi cerita awal saja.

Kenapa cerita segmen kehidupan si Ikal kuliah di UI tak diceritakan detail ? Keputusan ini mungkin diambil Andrea dengan pertimbangan, selain memang hanya rutinitas biasa saja, juga segmen kehidupan kuliah tersebut tidak bisa dihiperbolisasi dan dibumbui agar menarik. Akan banyak orang yang mempertanyakan kejanggalan dan ketidak-sesuaian nantinya, jika ia melakukan hal itu.

Ada beberapa kejanggalan menurutku mengenai tempat, nama serta peristiwa- selain yang pernah diulas oleh pak Jacob dan di blog lain- seperti :

- Nama sekolah SMA Bukan Main, jelas bukan nama sekolah sebenarnya.
- Nama teman-teman kuliah Ikal waktu di Sorbone (Virginia Sue Townsend, Naomi Stanfield, Katya Kristanaema, dsb) tak ditemukan person seperti yang didiskripsikan itu dalam belantara dunia internet. Padahal internet adalah keseharian orang yang berpendidikan seperti ini. Jadi aku simpulkan nama nama tersebut bukan nama sebenarnya.
- Searching nama “Njoo Xian Ling” di paman google. Tak ditemukan data yang berhubungan dengan nama lengkap Aling, kecuali kalau kita ketik Xian Ling.
- Masuk Pusdikhub AD Cimahi, setelah lulus menjadi pegawai Pos. Setahuku pada era tersebut Pusdikhub tak pernah menggembleng calon karyawan Pos. Jadi aku simpulkan ini adalah pengalamannya ketika masuk menjadi pegawai Telkom.
- Cerita minar tentang pemilihan Bupati dalam Pilkada. Dalam kalkulasiku, saat Ikal masih di SMA adalah pada masa sebelum reformasi tahun 1998 terjadi. Pemilihan bupati secara langsung baru ada setelah diberlakukan otonomi daerah tahun 2001. Jadi kupikir bagian si Minar berceloteh ini hanya penyedap saja.

Kesimpulanku mengenai ketiga buku tersebut adalah memoar pribadi Adrea yang diberi warna warni, atau cerita fiksi si Ikal yang diinspirasi dari pengalaman pribadi. Namun terlepas dari itu semua, aku masih tersalut-salut pada Adrea Hirata, dan tak sabar menunggu buku ke-empatnya, Maryamah Karvop. Mungkin akan bercerita tentang Nurmi, gadis kecil pemain biola anak Cik Maryamah.

No comments: