12 March 2008

Ayat-Ayat Cinta - antara Novel dan Film

Nonton juga akhirnya film "Ayat ayat Cinta" walaupun harus dicuekin istri sehari karena tidak mengajaknya ikut serta nonton film ini, ha..ha..ha. Awalnya adalah provokasi teman wanita sekantor yang mempromosikan betapa hebat dan menyentuhnya novel besutan Habiburrahman El Shirazy ini, begitu juga dengan film-nya walaupun katanya tidak sehebat dari novelnya.

Menurutku cukup bagus sih isi cerita novelnya, walaupun baru sempat membaca setengah jalan, karena keburu nonton versi film-nya. Karakter tokoh dalam novel cukup kuat. Deskripsi tentang suasana Mesir cukup memikat, sehingga saya seolah olah mengalami sendiri kehidupan di sana. Nasr City, Hadayek Elwan, Dokki menjadi tempat yang tak asing lagi seperti pernah hidup lama disana setelah membaca novel ini.

Saat Pertama film dimulai, aku sudah siap kecewa bahwa film ini tidak bisa memvisualkan nuansa Mesir yang terkandung dalam novel . Dan ternyata benar. Suasana di dalam metro –mass rapid transportation kebanggaan pendududk Cairo – serta rute lokasi tempat persinggahan metro yang tergambar dengan kuat dinovel misalnya, gagal diangkat dan divisualkan dengan baik pada film. Menonton adegan dalam metro ini seperti menonton adegan teater panggung dengan properti set statis, tidak merefleksikan suasana sebuah transportasi massal kota Cairo dengan mahatta-nya, yang seharusnya dipenuhi wajah-wajah Arab, bukan muka Indonesia yang diarab-arabkan. Kelemahan dalam menampilkan setting dengan background Mesir hampir ditemui pada keseluruhan film – terakhir baru aku tahu bahwa sang Sutradara-pun tidak puas karena shooting tidak bisa dilakukan di Mesir, melainkan di India. Pantas saja ada rada-rada nuansa Bollywood dalam film ini.

Yang terasa mengganggu dalam film ini adalah dialog pemainnya. Sangat teatrikal sekali, terutama adegan kejadian di dalam metro dan adegan didalam penjara bawah tanah saat Fahri diingatkan oleh napi satu ruang tentang cerita nabi Yusuf As dengan Siti Zulaika - padahal sosok napi ini tidak ada dalam penggambaran di novel. Begitu juga adegan saat Bahadur mencak-mencak marah mencari Nourah yang telah pergi. Sangat sinetron sekali…….!

Namun tak adil rasanya jika sisi negative saja yang diungkap dalam film "Ayat Ayat Cinta" ini. Ada juga hal-hal yang patut diacungi jempol. Keberhasilan film ini misalnya, dalam menarik penonton sungguh mencengangkan, dan diperkirakan akan menjadi trend baru dalam dunia perfileman Indonesia ditengah-tengah dominasi film bergenre hantu dan cinta remaja. Improvisasi dengan mempertemukan Aisha dan Maria dalam kehidupan rumah tangga juga sering menimbulkan senyum kecil. Saya kira sosok Fahri yang diperankan oleh …… dan sosok Maria yang dilakoni oleh Clarissa Puteri – baru tahu saya ada artis ini – sudah memadai dalam film ini.

Untuk menambah perspektif lain dalam memvisualkan novel karya Kang Abik ini, ada baiknya juga diberi kesempatan kepada Sutradara berbakat lainnya- baik dari dalam negeri maupun dari luar – untuk mengerahkan segala imajinasinya tentang novel ini dan mengekspresikannya dalam frame by frame layar lebar. Tak sabar rasanya menanti film Ayat Ayat Cinta dalam versi lain.

1 comment:

Anonymous said...

Jadi pengen baca novelnya....