24 September 2012

Micro, Novel Crichton Yang Belum Selesai

Selesai baca "Micro" karya Alm. Michael Crichton dan Richart Preston. Belum ada edisi Indo-nya. Ini karya belum selesai Michael Crichton yg ditemukan penerbit setelah beliau wafat thn 2008, lalu meminta Preston - penulis Ebola yg terkenal itu- utk merampungkannya.
Bercerita ttg sekelompok ilmuan muda yg tepaksa mengalami translasi shg berukuran 12 milimtr karena disinari gelombang eletromagnetik berkekuatan 60 tesla!! dan harus berjuang mati2-an ditengah2 buasnya hutan-hujan di kepulauan Hawaii. Sanggat menarik mengetahui bahwa dgn ukuran segitu ternyata gaya gesek udara menjadi dominan dan gravitasi bukanlah masalah bagi tubuh2 mungil itu . Sementara hewan2 kecil yg kita lihat lucu dan indah dalam dunia kita ini, berubah menjadi menakutkan dan mengerikan bagi mereka........

02 May 2009

Gaya Bahasa Politik yang Berkonotasi Perilaku Menyimpang

Kalau Ulil Abshar Abdalla dalam kolom bahasa merasa terganggu oleh istilah asing dalam musim pemilu ini (Kompas 1 Mei 2009), saya justru merasa risih mendengar dan membaca istilah yang digunakan oleh para politisi, pengamat politik, ataupun judul berita beserta isinya ketika menggambarkan dinamika hubungan antar parpol dalam menjalin koalisi di pemerintahan maupun di parlemen. Gaya bahasa yang dipakai bertabur dengan metafora yang sekilas berasosiasi dengan orientasi seksual suka sama lawan sejenis.

Simak judul berita sebuah portal online, “PD Jangan Urusi SBY-JK Kawin!”(inilah.com 22/04/2009). Dan baru baru ini portal yang sama menulis judul yang cukup nakal sekaligus mengganggu: “Wiranto Jelaskan Alasan Nikahi JK”. Seakan tak mau ketinggalan, Detik sebagai portal terkemuka, juga menggunakan kosa kata yang hampir sama, bahkan dengan ilustrasi gambar Sby dan JK dengan muka keduanya hampir bertemu. Bagaimana dengan para pelakunya sendiri? Ternyata setali tiga uang. Dalam acara talk show, baik itu politisi, pengamat, maupun pembawa acara tak luput menggunakan kosa kata sejenis seperti: siap dipinang, kawin, sudah talak tiga, sudah pisah ranjang, seperti orang berpacaran, menjomblo, dll. Yang cukup menarik adalah statemen dari Ganjar Pranowo kader PDIP dalam dialog di stasiun TV One, ketika menjelaskan progres koalisi enam partai dengan “..... semuanya sudah sepakat dengan komitmen yang disusun, tinggal menunggu ungkapan “I love you saja”....

Bagaimana dengan koran yang cukup selektif dalam pemilihan kata seperti Kompas? Ternyata koran ini tak luput juga dari ‘kebiasaan” tersebut walaupun penggunaan kata-katanya memakai tanda petik. Terbukti dalam beberapa judul beritanya menggunakan kata kata ‘cerai’.‘pisah ranjang’, dan ‘gadis yang siap dilamar’. Tempo Interaktif yang saya anggap mewakili portal yang cukup ’intelek’ ternyata jauh sebelumnya saat pilpres 2004, telah menggunakan kosa kata sejenis dengan judul berita ”Pengurus Golkar Meminang Hasyim Muzadi Sebagai Calon Presiden”.

Ditengah kerisihan terhadap realitas di atas, saya teringat pemilihan kata ”peluru perak” yang dipilih Condoleezza Rice ketika menjelaskan situasi betapa mustahilnya mencegah serangan 11 September 2001. ”There was no silver bullet that could have prevented the 11 September attacks.” Sungguh pilihan kata yang smart dan sekaligus menjadi rujukan yang pantas untuk bahan kutipan berita. Dengan sedikit pikiran nakal saya berandai-andai gaya bahasa yang dipakai oleh politisi kita untuk mengekspresikan situasi di atas dengan konteks kekinian di Indonesia. ”Tak ada obat kuat mujarab yang dapat mencegah perceraian antara PD dan Golkar.”

Sebagai warga yang rindu akan atmosfir jauh dari suasana ”hanya kawin saja yang dipikirkan” saya menantikan lontaran-lontaran analogi atau ungkapan cerdas dari pelaku politik di Indonesia, sehingga gaungnya bisa teredengar beberapa tahun kedepan. Ataupun kalau tidak mampu, saya lebih sreg dengan istilah ”pecah kongsi” dari pada kata ”cerai’ atau ”pisah ranjang”. Dan di luar konteks ini, paling tidak sudah ada yang memulainya. Misalnya istilah ’tebar pesona’. Hanya tinggal meng-upgrade sedikit-sedikit biar kelihatan berbobot dan cerdas.

02 December 2008

Bukan Empat Mata Yang Empat Mata Banget

Apa yang saya ungkap pada posting saya sebelumnya terbukti. Operator TV Tran7 bermain dengan menggunakan celah/kelemahan yang terdapat pada aturan main yang berlaku (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, disingkat P3 dan SPS), untuk menayangkan kembali sebuah program acara yang sebenarnya sudah dibekukan. Reinkarnasi program talk show “Empat Mata” yang dibekukan oleh KPI (Komisi Penyiran Indonesia), bangkit lagi dengan nama “Bukan Empat Mata”. Tak tanggung-tanggung, dekorasi panggung, format acara, host sampai dengan jam tayang acara tersebut sama seperti pendahulunya yang sudah almarhum satu bulan yang lalu. Saya bertanya-tanya. Yang bukan Empat Mata, yang mana ya?

Program tayangan yang diklaim sebagai sesuatu yang baru tersebut, mulai tayang sejak tanggal 1 Desember 2008 tadi malam. Mengambil thema Welcome Back Mas Tukul pada edisi perdananya, program tersebut tampil nyaris sama dengan program Empat Mata. Hanya segment current issue (mengangkat issue-issue yang sedang berkembang di masyarakat) yang membedakannya sedikit dengan pendahulunya. Lalu apakah dengan hanya penambahan segment tersebut, Trans TV berhak menclaim program tersebut sebagai bukan “Empat Mata”? Lalu terbebas dari jerat penalti otoritas penyiaran?

Kalau kita berbicara makna “bukan”, maka dalam semesta pembicaraan bukan “Empat Mata” berarti sesuatu selain Empat Mata. Ia bisa berarti acara Goyang Dangdut, bisa jadi acara reality show, atau bisa juga sinetron dengan mas Tukul jadi pelakonnya. Apa lagi? Pokoknya bukan acara talks show yang mempunyai ciri-ciri acara nyaris sama dengan sebuah program yang pernah dibekukan sebulan yang lalu karena melanggar aturan main. Apalagi ditayangkan pada jam tayang yang sama, dan host serta pembantu host yang sama pula.

Apa yang saya saksikan tadi malam (ini bukan komplain lho) adalah suatu ejekan Trans 7 kepada KPI. Dan Trans TV merasa yakin dia aman, karena yang dibekukan oleh KPI adalah Empat Mata bukannya “Bukan Empat Mata”, tak peduli konten dan format yang terkandung didalamnya hampir sama. P3 dan SPS yang disusun oleh KPI tidak mengatur sampai sedetail itu.

Ini seperti analogi si Fulan yang memakai baju lain dari biasanya, lalu mengaku: “saya bukan Fulan lho”. Dan pernyataan itu harus kita setujui, hanya karena kita tak punya definisi yang lengkap dan detail tentang siapa dan apa si Fulan itu. Walau secara kasat mata kita tahu bahwa ia adalah si Fulan, orang yang kita kenal dan hidup bersama kita.

Well ... kembali ke laptop Bukan Empat Mata-nya mas Tukul. Semoga apa yang telah terjadi pada program Empat Mata, menjadi pelajaran bagi pengelolah acara, pembawa acara agar lebih santun, lebih cerdas serta tidak aneh-aneh dalam membawakan acaranya. Bukan sebaliknya, kerena adanya pembiaran terhadap kasus ini dari regulator penyiaran, justru acara Bukan Empat Mata malah lebih aneh-aneh dan lebih vulgar. Kan kalau dicekal lagi oleh KPI, program bisa diganti namanya menjadi “Bukan Bukannya Empat Mata”. Yang bisa berarti Empat Mata.

25 November 2008

Tayangan TV: Stop Komplain, Lakukan Filter Sendiri

Coba perhatikan dalam setahun berapa banyak surat pembaca yang memuat keluhan buruknya materi tayangan TV. Baru-baru ini saya membaca postingan sebuah blog yang isinya keprihatinan yang mendalam terhadap tayangan TV, terutama sinetronnya. Dan entah berapa banyak blog dan forum lain lagi yang membahas hal senada: sinetron yang membodohi pemirsa; talk show/berita tv yang mengumbar kesadisan dan kevulgaran; atau infotainment yang mengupas tuntas kehidupan artis yang justru menjustifikasi kebobrokan dalam rumah tangga adalah hal yang lumrah. Namun sampai sejauh ini adakah komplain tadi mendorong perbaikan kwalitas tayang? Adakah keluhan tadi efektif mempressure regulator (dalam hal ini KPI) agar lebih tegas terhadap operator TV untuk taat aturan main? Jawab saya pribadi: kecuali acara empat mata yang telah dibekukan, perubahan signifikan belum ada! Masih seperti dulu, kata penyanyi jadul Dian Pisesha.

Saya pribadi berpendapat konten beberapa tayangan TV sekarang ini sudah tak layak tonton, tidak nalar dan cenderung menjeneralisasi suatu kasus dari sudut pandang tertentu saja, serta suka memblow-up suatu masalah. Tapi saya juga mahfum. Natur dunia televisi non berbayar memang seperti itu. Investasi yang dikeluarkan harus segera kembali. Pemasukan satu satunya bagi mereka adalah dari iklan. Tayangan yang berpotensi menarik banyak iklan menjadi konsern utama fihak pengelolah. Dan fihak sponsor hanya mau memasang iklan jika rating tayangan tinggi. Maka jadilah pameo : rating is the king. Sebodoh amat jika tayangan tersebut berpengaruh buruk bagi masyarakat. Ini pure bisnis ratusan milyar rupiah!

Untuk urusan rating ini, menjadi suatu ironi. Format acara yang rating-nya bagus, akan dicopas (copy paste) oleh stasiun tv lainnya. Maka akan muncul program sejenis dan wajah dunia televisi menjadi homogen. Maka tidak ada bedanya program acara tv jaman waktu TVRI dulu dengan sekarang. Kalau dulu kita dipaksa nonton satu menu acara saja, tapi sekarang kita terpaksa mencicipi banyak menu tayangan dengan cita rasa yang sama.

Kembali kepada persoalan konten tayangan yang buruk. Apakah tidak ada aturan main yang bisa dipakai untuk menilai suatu konten tayangan telah melanggar aturan atau tidak? Dan apakah pelanggaran terhadap aturan tersebut bisa dikenakan sanksi? Ada. Namanya P3-SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran – dan Standar Program Siaran) yang dikeluarkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Dan acara ”Empat Mata” yang dihost oleh Tukul sudah kena penalti. Lalu apakah fihak penyelenggara akan merasa jera dan rumah tangga kita menjadi lebih aman dari pengaruh buruk tayangan TV? Dialektika alam selalu terjadi. Percayalah fihak pengelolah jaringan tv akan selalu mencari celah/kelemahan regulasi. Dan tayangan-tayangan sampah tetap akan berseliweran dalam ruang rumah kita.

Well, Bagaimana menyikapinya? Kalau saya yang ditanya, saya akan menjawab: perbanyak alternative tontonan yang berkwalitas di rumah. Kita selama ini dibuat tak berdaya, karena tak ada alternatif tontonan yang lebih baik. Ya itu tadi, karena kita hanya membayar murah (hanya bermodal pesawat tv saja) untuk sebuah hiburan dan informasi tak bermakna. Kalau kita mau sedikit bersusah menyisihkan budget untuk tayangan alternatif, banyak tersedia tv berbayar dengat paket acara yang jauh lebih baik dengan harga yang terjangkau. Kita mempunyai pilihan menentukan mana tayangan yang layak kita tonton dan memberikan pencerahan bagi kita. Dan yang paling penting lagi, kita tidak lagi menjadi siterperdaya yang duduk tak berdaya menerima bombardir pengaruh buruk dari luar melalui tayangan tv. We are the decision maker!

Rumah kita adalah teritorial kita. Kita punya wewenang penuh mengaturnya. Gunakan wewenang itu dengan membuat kebijakan tayangan-tayangan apa saja yang boleh masuk dalam wilayah teritorial kita. Jangan biarkan alam bawah sadar anak-anak kita disesaki timbunan spam informasi tayangan tak berguna. Jadi stop mengeluh. Lakukan filter sendiri.

20 November 2008

Blog Lama Dengan Muka Baru


Akhirnya bisa juga menggunakan design blog dari Woork - The Daily Inspired yang saya rombak total, sehingga sudah tak kelihatan lagi wajah aslinya. Tampilan yang saya pakai ini adalah hasil utak atik template Antonio Lupetti yang bergaya style magazine. Kastemisasi lay out, tampilan dan pewarnaan blog saya lakukan secara manual, karena template awal sangat miskin dengan widget. Jadi saya harus bermain dengan kode HTML, kode CSS dan kode Blog secara penuh. Susahnya, saya awam dalam hal ini. Cara trial and error pun tak terelakkan. Untung dirumah pakai speedy yang membantu saya melakukan perubahan-perubahan secara online.

Bagian yang tersusah menurut saya, adalah menampilkan isi posting penuh pada halaman depan. Pada halaman depan template asli, posting hanya ditampilkan judulnya saja, sementara saya ingin isi posting ditampilkan penuh. Kode menampilkan isi posting ".......<p><data:post.body/></p>......" saya dapatkan dari sebuah situs, dan hanya perlu menginsertkan nya secara tepat ke barisan kode html. Tak mudah memang, sedikt saja ada kelebihan atau kekurangan tag maupun karakter, maka blogger tidak akan mau menyimpan hasil edit.

Untul menampilkan fitur-fitur lain seperti shout box, hit counter atau fitur sejenis yang menggunakan java script, saya siasati dengan membuat kode baru sehingga pada tata letak akan muncul bagian untuk membuat widget baru. Untuk diketahui saja, perintah untuk membuat widget baru tak ditemukan pada design awal.

Hampir semua elemen penyusun blog seperti garis, list item, separator menggunakan image yang tersimpan di blog Antonio Lucepi, sehingga kita juga harus membackup dan menyimpan image tadi di situs penyimpan gambar seperti picasa, flickr serta mengubah link-nya ketempat yang baru. Tindakan ini untuk antisipasi jika situs lama yang menyimpan image elemen blog tidak aktif lagi.

Nah, bagi rekan-rekan yang berminat menggunakan template design yang di release oleh antonio, tapi punya problem yang sama dengan saya silakan berbagi disini.

Download template Magazine Style-nya Antonio Lucepi disini.